Apabila dilihat dari silsilahnya Radin Intan I adalah keturunan dari Fatahillah yang merupakan anak dari Ratu Darah Putih dan Tun Penatih. Dia adalah pemimpin Keratuan Darah Putih di Lampung. Sedangkan Raden Imba II adalah keturunan Fatahillah anak dari Ratu Darah Putih dan Tun Penatih yang menikah dengan Ratu Mas. Sedangkan Radin Intan II adalah satu keturunan dari Fatahillah yang menyebarkan agama Islam di Banten sekitar abad XVI.
Radin Intan II dikenal sebagai pejuang dalam menentang penjajahan Belanda di Lampung dan gugur sebagai pahlawan. Ia adalah putra dari Raden Imba II, beliau dipelihara dan dibesarkan oleh ibu dan keluarganya dengan penuh rahasia. Ia lahir di hutan tahun 1831. Ketika Benteng Raja Gepei jatuh ke pemerintahan Belanda tahun 1834, ia berusia 3 tahun. Saat kecil Radin Intan II diliputi suasana perang melawan Belanda dan sekutu-sekutunya. Raden Intan II meninggal saat usia masih muda di saat ia belum menikah, sehingga tidak mempunyai keturunan lagi.
Sebelum kedatangan Belanda ke Lampung, Lampung merupakan salah satu daerah yang mendapat pengaruh kekuasaan dari Banten, hal itu disebabkan Lampung waktu itu, kaya akan rempah-rempah. Namun di saat kedatangan Belanda, secara perlahan Lampung dapat dikuasai oleh Belanda. Kedatangan Belanda ke Indonesia, tujuan utama adalah berdagang sambil mencari rempah-rempah.
Perlawanan Radin Intan terhadap penjajahan Belanda, pertama dilakukan oleh Radin Intan I. Raden Intan I (1751-1828), adalah penguasa Keratuan Darah Putih atau Negara Ratu yang berpusat di Kahuripan. Daerah ini sekarang termasuk wilayah Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan. Bagi Belanda Radin Intan I dianggap sebagai orang yang keras kepala, ia tidak mau menuruti apa perintah Belanda, bahkan iapun cenderung untuk melawan dari segala kebijakan yang dibuat pemerintah Belanda, seperti monopoli perdagangan lada.
Meskipun demikian dibalik sikap Radin Intan I yang keras kepala tersebut, Belanda tetap memperlakukan Radin Intan I dengan sifat yang lunak. Sikap lunak sengaja diperlakukan oleh pemerintah Belanda (khususnya Gubernur Jenderal Belanda, H.W. Daendels), sebab Daendels mengakui kepemimpinan Raden Intan I sebagai penguasa di Lampung. Disamping itu, perlakukan lunak Belanda khususnya Daendels tersebut didasarkan atas perhatian Belanda yang terpecah, dikarenakan perhatian Belanda lebih tercurah pada persiapan untuk menghadapi ancaman pasukan Inggris. Selanjutnya pada kwartal I abad 19 ini, Belanda juga harus menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830).
Dengan ketidak mampuan Daendels dalam mendekati Radin Intan I tersebut, akhirnya Radin Intan I mengambil langkah-langkah yang bagi Belanda sangat membahayakan, seperti menjalin hubungan persahabatan dengan Daeng Gajah dari Tulang Bawang dan Seputih. Raden Intan pun sengaja melepaskan diri dari ikatan Belanda. Dengan tindakan yang diambil Raden Intan ini, menandakan bahwa Radin Intan I dianggap oleh Belanda sebagai pemberontak dan akan melakukan suatu pemberontakan. Dengan adanya kekhawatiran tersebut, akhirnya fihak Belanda mengadakan perundingan dengan Radin Intan I yang isinya :
1. Radin Intan I bersedia mengakiri kekerasan dan membantu pemerintah Belanda.
2. Raden Intan I akan diakui kedudukannya, sebagaimana pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels.
3. Radin Intan I mendapat pensiun sebesar f.1200 per tahun dan saudara-saudaranya masing-masing sebesar f.600 per tahun.
Dari isi perundingan tersebut, pemerintah Belanda memberikan janji-janji kepada Radin Intan I, sehingga terciptalah suasana damai. Namun suasana damai tersebut, ternyata tidak memakan waktu lama, karena hubungan antara pemerintah Belanda dengan Radin Intan I kembali meruncing. Sebab-sebab meruncingnya hubungan kedua belah pihak tersebut dikarenakan Pemerintah Belanda secara sepihak melanggar kesepakatan damai dan dengan terang-terangan menempuh jalan kekerasan.
Pada awal bulan Desember 1825 pemerintah Belanda mengirim utusan untuk menangkap Radin Intan I, dengan cara mengirim Gezaghebber Lelievre di Telukbetung bersama Letnan Misonius. Kedatangan kedua orang Belanda tersebut dilengkapi dengan 35 serdadu dan 7 opas, bergerak menuju Negara Ratu. Awalnya Radin Intan I menerima dengan baik kedatangan kedua orang Belanda tersebut, dan Radin Intan pun bersedia dibawa ke Teluk Betung, tetapi dengan syarat Radin Intan meminta waktu 2 hari dikarenakan sedang sakit.
Tatkala kedua orang Belanda tersebut sedang istirahat di Negara Ratu, tiba-tiba diserang oleh pasukan Radin Intan I tanggal 13 Desember 1825, dan orang-orang Belanda pun berhasil dilumpuhkan. Korban tewas menimpa Lelievre bersama seorang sersan, sedangkan Letnan Misonius luka tertembak. Dengan kekalahan Belanda ini maka untuk sementara keadaan di Lampung kembali tenang, sebab Belanda mulai mencurahkan kekuatannya untuk menghadapi penyerangan Pangeran Diponegoro. Tiga tahun kemudian Radin Intan I jatuh sakit hingga meninggal dunia, sedangkan tahta sebagai pemimpin di Keratuan Darah Putih diwariskan kepada putranya yaitu Raden Imba II.
Raden Imba II yang mewarisi tahta sebagai Ratu di Lampung ternyata juga mewarisi sifat-sifat ayahnya yaitu anti terhadap penjajahan Belanda, dan berusaha untuk melawannya. Sikap anti terhadap penjajahan Belanda tersebut juga mendapat dukungan dari ayah mertuanya yaitu Kiai Arya Natabraja dan Kepala Marga Teratas Batin Mangundang, serta rakyat daerah Semangka. Semasa Raden Imba II menjabat sebagai Ratu Lampung, ia mempunyai hubungan ke luar istana yang sangat luas, yaitu menjalin hubungan persahabatan dengan kesultanan Lingga yang diwujudkan dengan perkawinan saudara perempuannya dengan Sultan Lingga, disamping itu Raden Imba II juga menjalin persahabatan dengan pelaut Bugis dan Sulu.
Dengan jalinan persahabatan yang dibina Raden Imba dengan beberapa wilayah di luar Lampung, membuat kekhawatiran di pihak tentara Belanda, sebab dikhawatirkan Raden Imba II menjalin suatu kekuatan untuk menyerang Belanda. Ternyata dugaan Belanda tersebut benar, Raden Imba II melakukan penyerangan di Teluk Lampung. Dengan bantuan rakyat setempat, Raden Imba II berhasil mengalahkan pasukan Belanda di dekat Kampung Muton. Serangan yang dilakukan Raden Imba II ini berakibat buruk, sebab petinggi pemerintah Belanda menderita kerugian, sehingga Asisten Residen Belanda untuk Lampung yaitu J.A. Dubois meminta bantuan bala tentaranya dari Batavia, untuk segera mengirim bantuannya guna memadamkan perlawanan Raden Imba II.
Bala bantuan pun datang dengan kekuatan lima buah Kapal Alexander dan Dourga, 300 serdadu Belanda, serta 100 serdadu Bugis. Bala bantuan tersebut dibawah pimpinan Kapten Hoffman dan Letda Kobold. Pasukan Belanda ini mendarat di Kalianda tanggal 8 Agustus 1832. Pasukan Belanda juga menuju Kampung Kesugihan dan Negara Putih, tapi sayang tempat tersebut sudah ditinggalkan oleh Raden Imba II. Untuk melampiaskan kekesalannya, Belanda membakar semua rumah yang ada di kampung tersebut.
Raden Imba II yang mengetahui kejadian tersebut langsung membangun kubu pertahanan yang tersebar di beberapa daerah, seperti di Raja Gepeh, Pari, Bedulu, Huwi Perak, Merambung, Katimbang, dan Sakti. Agar tidak kehabisan bahan makanan, Raden Imba II juga membangun lumbung-lumbung persedian makanan, begitu pula untuk mengimbangi kekuatan Belanda, Raden Imba II menambah senjata, dengan cara melakukan barter dengan Inggris yang berkuasa di Bengkulu. Pertempuran melawan Belanda pun kembali terjadi tanggal 9 September 1832 di daerah Gunung Tanggamus. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Hoffman. Namun dalam perlawanan melawan Belanda kali ini pasukan Raden Imba II kembali mengalami kemenangan. Dari pasukan Belanda banyak yang tewas, sedangkan Kapten Hoofman mengalami luka-luka. Dengan kekalahan tersebut, akhirnya pasukan Belanda ditarik mundur.
Dengan ditariknya pasukan Belanda dari daerah Gunung Tanggamus tersebut, bukan berarti pasukan Belanda menerima kekalahan. Artinya justru pasukan Belanda membangun kekuatan untuk membalas kekalahannya terhadap Raden Imba II. Kapten Hoffman untuk kedua kalinya memimpin penyerangan terhadap Raden Imba II. Kali ini Kapten Hofman mengerahkan kekuatan yang lebih besar, yaitu ditemani oleh 600 serdadu Belanda yang direkrut dari pasukan yang telah berpengalaman dalam melawan Pangeran Diponegoro. Kapten Hoffman juga mendapat bantuan pasukan dari Letnan Vicq de Cumtich. Pertempuran kali ini dapat dikatakan pertempuran besar yang terjadi di Benteng Raja Gepei. sebab dari keduanya mengalami kerugian yang sangat besar, yaitu pasukan Raden Imba II kehilangan 100 pasukannya, sedangan pasukan Belanda hanya 65 orang termasuk Letnan Neuenborger dan Letan Huiseman. Namun demikian Raden Imba II masih dapat berhasil memimpin pasukannya untuk mempertahankan Benteng Raja Gepei. Begitu pula pasukan Belanda masih tertahan dan mendapat bantuan pasukan dibawah pimpinan Kapten Beldhouder dan Kapten Pouwer. Namun kedua kapten tersebut tewas.
Beberapa kali kekalahan yang dialami oleh pasukan Belanda dalam menghadapi setiap perlawanan, bagi Belanda menjadikan suatu cambuk untuk mengirimkan bala bantuan yang lebih besar, begitu pula yang dialami Belanda dalam menghadapi beberapa kali perlawanan yang dilakukan oleh Raden Imba II. Tanggal 23 September 1834, pemerintah Belanda di Batavia kembali mengirimkan bantuan dalam jumlah yang besar, yaitu 21 opsir (perwira), dan 800 serdadu istimewa yang dilengkapi dengan meriam besar, bantuan tersebut dibawah pimpinan Kolonel Elout. Benteng Raja Gepei yang selama ini dijadikan tempat persembunyian Raden Imba II, oleh Belanda berhasil dihancurkan dan diduduki, namun Raden Imba II dan mertuanya Kyai Arya Natabraja berhasil meloloskan diri. Selanjutnya Raden Imba dan beberapa pasukannya menyingkir ke Kesultanan Lingga sekaligus minta perlindungan. Namun sayang tempat persembunyiannyapun diketahui oleh Belanda. Raja Lingga akhirnya mendapat tekanan dari Belanda, yang isinya apabila tidak menyerahkan Raden Imba II, Kerajaan Lingga akan mendapat serangan dari Belanda. Akhirnya Raden Lingga pun menyerahkan Raden Imba II meskipun dengan terpaksa.
Dengan diserahkannya Raden Imba II dan beberapa pengikutnya ke Belanda, maka mereka ditangkap dan dibawa ke Batavia. Pada saat di Batavia itulah mertua Raden Imba II dan hulu balangnya Raden Mangunang meninggal dunia. Sedangkan Raden Imba II dibuang ke Pulau Timor. Raden Imba II pun akhirnya meninggal di Pulau Timor. Sedangkan istrinya yang sedang hamil tua dipulangkan ke Lampung.
Dengan meninggalnya Raden Imba II, maka kekuasaan Lampung berada sepenuhnya di tangan Belanda. Selama itulah kurang lebih 15 tahun, Lampung sepi dari pemberontakan.
Istri Raden Imba yang telah hamil, beberapa waktu kemudian melahirkan seorang laki-laki sebagai anak yatim, karena Raden Imba II telah meninggal dunia. Anak tersebut diberi nama Radin Intan II. Ia meneruskan jejak leluhurnya sebagai orang yang anti penjajahan.
Pada tahun 1850, Radin Intan II telah menginjak usia 15 tahun, karena ia sebagai anak tunggal dari Raden Imba II, maka ia pun berhak meneruskan tahta memimpin Keratuan Darah Putih di Lampung, sehingga ia pun dilantik sebagai penguasa Negara Ratu tersebut. Ia mulai menata segala sarana dan prasarana yang telah rusak akibat perlawanan ayahnya terhadap Belanda. Di antaranya Radin Intan II memperbaiki benteng yang rusak, dan iapun membangun kembali benteng-benteng baru di antaranya di Galah Tanah, Pematang Sentok, Kahuripan, dan Salaitahunan. Semua benteng tersebut dilengkapi dengan parit dan terowongan rahasia. Sedangkan persenjataannya masih sangat sederhana untuk ukuran sekarang seperti keris, badik, pedang, dan meriam besar dan kecil. Sedangkan pasukannya dibagi menjadi unit-unit kecil yang terdiri atas 40 orang dengan dipimpin oleh seorang komandan prajurit, begitu pula sarana lain juga dipersiapkan seperti dapur umum atau pejunjongan (untuk menopang pejuang).
Pertahanan dipusatkan di Gunung Rajabasa, yang secara militer letak gunung ini sangat strategis dalam menghadapi serangan lawan dari manapun karena letaknya yang dikelilingi benteng-benteng pertahanan, seperti sebelah barat dan utara terdapat Benteng Merabung, Galah Tanah, Pematang Sentok, Katimbang, dan Salai Tabuhan. Sebelah timur terdapat Benteng Bendulu dan Hawi Perak, sedangkan di kaki-kaki gunung terdapat Benteng Raja Gepei Cempaka dan Kahuripan Lama.
Sepak terjang Radin Intan II hampir menyerupai ayahnya, yaitu menggalang persahabatan dengan beberapa tokoh penting seperti Singabranta, Wak Maas, dan Haji Wakhia, serta rakyat dari Marga Ratu dan Dataran. Tujuannya penggalangan tersebut adalah untuk meningkatkan kekuatan pasukan. Bagi Belanda, sepak terjang yang dilakukan oleh Radin Intan II ini dianggap membahayakan. Oleh sebab itu Belanda mengambil tindakan yaitu berupaya untuk membujuk dan melakukan diplomasi dengan Radin Intan II. Dengan syarat-syarat yang cukup menjanjikan, Belanda berusaha membujuk Radin Intan II agar menghindari permusuhannya dengan Belanda, dengan imbalan akan diberi pengampunan, ditawari biaya pendidikan, dan sebagainya.
Namun Radin Intan II menolak segala bujukan tersebut. Karena tawaran Belanda ditolak, maka Belanda pun pada tahun 1851 mengirim pasukan yang berkekuatan 400 serdadu yang langsung dipimpin oleh Kapten Tuch. Pasukan Belanda pun langsung menyerang/menyerbu Benteng Merambung, tetapi sayang penyerangan Belanda ini mengalami kegagalan. Dan kemenangan ada di pihak Radin Intan II.
Pada tahun 1853, pemerintah Belanda kembali mengajukan suatu perdamaian yang isinya agar Radin Intan II menghentikan penyerangan. Usulan perdamaian kali ini diterima oleh Radin Intan II, dan Radin Intan II pun menghentikan suatu peperangannya dengan Belanda sehingga suasana menjadi tenang. Namun sayang suasana tenang itupun hanya berlangsung 2 tahun yaitu sampai 1855. Dan tahun 1856 Radin Intan II kembali melakukan penyerangan.
Bila diruntut dari perlawanan satu ke perlawanan berikutnya, baik yang dilakukan oleh Radin Intan I, Raden Imba II, dan Radin Intan II, ternyata pemerintah Belanda selalu dipihak yang kalah. Oleh karena pemerintah Belanda ingin mengerahkan bala bantuannya sebanyak mungkin yang diminta dari Batavia, yang tujuannya untuk menghentikan perlawanannya di Keratuan Darah Putih Lampung.
Pada tahun 1856, bala bantuan dari Batavia tersebut benar-benar datang. Untuk bala bantuan kali ini dibawah pimpinan Kolonel Walleson yang dibantu Mayor Nauta, Mayor Van Oostade, dan Mayor AWP Weitzel. Bala bantuan ini/atau yang disebut ekspedisi ini terdiri atas 9 buah kapal perang, 3 buah kapal angkut peralatan, puluhan perahu mayung, dan jung dengan mengangkut 1.000 serdadu, dan 350 perwira, 12 meriam besar, serta 30 satuan zeni. Dengan datangnya bala bantuan tersebut, pasukan Belanda mendarat untuk merebut Pulau Sikepal (yaitu daerah Teluk Tanjung Tua), pada tanggal 10 Agustus 1856, dua hari kemudian pimpinan pasukan Belanda mengeluarkan ultimatum kepada Radin Intan II dan pimpinan rakyat lainnya agar menyerahkan diri dalam tempo 5 hari.
Dari Pulau Sikepal pasukan Walseson kemudian bersiap untuk menyerang Benteng Bendulu, penyerangan tersebut dilakukan pada tanggal 16 Agustus 1856 yaitu melalui daerah Ujau dan Kenali. Benteng Bendulu dapat dikuasai keesokan harinya tanpa perlawanan. Kemudian pasukan Belanda bergerak menuju Benteng Hawi Perak, sekitar pukul 8 pagi tanggal 18 Agustus 1856. Namun berita yang beredar, Benteng Bendulu telah direbut kembali oleh pasukan Radin Intan II. Dengan begitu Walleson dan pasukannya segera kembali berbalik arah ke Benteng Bendulu. Beteng Bendulu berhasil direbut kembali oleh Walleson dan selanjutnya dijadikan sebagai pangkalan (markas) pasukan Belanda dalam penyerbuan ke benteng-benteng pertahanan Radin Intan yang lain.
Dalam melakukan penyerangan terhadap benteng Katimbang, Walleson memecah kekuatan pasukan menjadi tiga kelompok yang bergerak melalui tiga arah yang berbeda; pasukan pertama dipimpin langsung oleh Kolonel Walleson yang bergerak dari pesisir selatan terus melingkar melalui lereng timur Gunung Rajabasa ke arah utara. Pasukan kedua yang dipimpin oleh Mayor van Costade bergerak dari pesisir selatan (Pulau Palubu, Kalianda, dan Way Urang) melingkar melalui lereng sebelah barat dan utara menuju Kelau dan Kunyaian, untuk merebut Benteng Merambung dan kemudian menuju Benteng Katimbang. Pasukan ketiga dipimpin oleh Mayor Nauta bergerak dari Penengahan melalui hutan untuk merebut Benteng Salaitahunan dan akhirnya menuju benteng Katimbang.
Keesokan harinya tanggal 19 Agustus 1856, pasukan Walleson berhasil merebut Benteng Hawi Perak, namun karena sesuatu hal, yaitu cuaca buruk, maka pasukan Walleson pun terpaksa balik kembali ke Bendulu. Sedangkan Benteng Hawi Perak dibakar. Setelah membakar benteng tersebut, selanjutnya pasukan Walleson bergabung dengan pasukan Mayor van Costade yang bergerak melalui lereng barat Rajabasa. Kemudian pada tanggal 27 Agustus 1856, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Walleson dan Van Costade berhasil merebut Benteng Merambung, Galah tanah, dan Pematang Sentok. Benteng Merambung berhasil direbut pada pukul 7 pagi dan Benteng Pematang Sentok direbut tanpa perlawanan.
Pada saat merebut Benteng Galah Tanah tersebut, pasukan Belanda mendapat perlawanan yang cukup sengit, sebab pasukan Radin Intan II siap bertahan, dalam mempertahankan benteng dengan senjata meriam dan ranjau darat. Akan tetapi akhirnya sekitar pukul 09.00 pagi Benteng Galah berhasil direbut pasukan Belanda. Sementara itu pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Nauta dengan susah payah berhasil merebut Benteng Salai Tahunan. Dengan dikuasainya Benteng Galah dan Benteng Salai Tahunan, terbukalah jalan kearah Benteng Katimbang.
Tanggal 27 Agustus 1856, Benteng Katimbang mulai diserang oleh Belanda, sekitar pukul 12 siang. Alasan diserangnya benteng ini, karena memiliki persediaan logistik yang cukup besar yang dipertahankan oleh Raden Intan II dan pasukannya. Tetapi karena demi segi persenjataan yang tidak seimbang itulah maka Benteng Katimbang berhasil direbut oleh Belanda pada pukul 05.00 subuh. Radin Intan dan kawan-kawannya seperti Haji Makhia, Singa Branta, dan Wak Maas berhasil meloloskan diri.
Dengan larinya Radin Intan II dan beberapa temannya, pasukan Belanda berusahan mengejarnya. Dengan pengejaran pasukan Belanda tersebut, maka Radin Intan II melakukan gerilya untuk menghadapi pasukan Belanda. Akhirnya pasukan Belanda pun dibuat jengkel oleh Raden Intan II. Oleh karena itu untuk menangkap Radin Intan II di persembunyian, pasukan Belanda melakukannya dengan berbagai cara yaitu menanyakan dimana keberadaan Radin Intan kepada penduduk ataupun beberapa wanita, sehingga keberadaan Radin Intan II pun dapat diketahui oleh Belanda, namun demikian Radin Intan II tidak dapat ditangkap karena tempat persembunyian Raden Intan selalu berpindah-pindah, yaitu dari tempat satu ke tempat lain.
Dengan kesulitan untuk menangkap Radin Intan tersebut, Belanda mulai membabi buta yaitu melakukan cara-cara yang tidak pada tempatnya seperti menangkap saudara atau orang-orang terdekatnya Radin Intan II seperti istri, anak, menantu, maupun saudara-saudara teman seperjuangan Radin Intan II. Kemudian pada tanggal 9 September 1856 bersamaan dengan hukuman mati Kiai Wakhia, dan dalam pertempuran berikutnya Wak Maas dibunuh oleh pasukan Belanda, dan lama-kelamaan Radin Intan II melakukan perjuangan secara sendirian.
Karena Belanda masih kesulitan dalam menangkap Radin Intan II, maka satu-satunya jalan Belanda melakukan tipu muslihat, yaitu dengan cara meminjam orang Lampung sendiri. Pasukan Belanda berhasil membujuk Kepala Kampung Tataan Udik yaitu Raden Ngarupat. Raden Ngarupat akhirnya termakan bujukan Belanda, iapun melalukan perintah Belanda dalam melakukan tipu muslihatnya. Caranya Raden Ngarupat mengundang Radin Intan II untuk makan malam di rumahnya. Ketika Raden Ngarupat sedang menghadapi hidangan, pasukan Belanda langsung menyergapnya. Radin Intan II yang ditemani saudara sepupunya langsung memberikan perlawanan. Namun sayang dengan kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya Radin Intan II gugur. Dengan gugurnya Radin Intan II, perlawanan terhadap Belanda sifatnya kecil yang bagi bagi Belanda mudah untuk mengalahkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar